Sutami (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 19 Oktober 1928 – meninggal 13 November1980 pada umur 52 tahun)adalah Menteri Pekerjaan Umum Indonesia. Ia menjadi Menteri Pekerjaan Umum sejak tahun 1964 pada Kabinet Dwikora I pada masa pemerintahan Presiden Soekarno hingga tahun 1978 pada Kabinet Pembangunan IIpada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Ir. Sutami yang membantu menghitung konstruksi bangunan Gedung MPR/DPR adalah lulusan Teknik Sipil ITB, 1945, sudah terkenal cerdas sejak menempuh pendidikan dasar dan menengah di Solo, salah satunya di SMA Negeri 1 Surakarta. Ketika menjadi Direktur Hutama Karya (1961-1966), ia menjadi pimpinan pusat proyek pembangunan Jembatan Ampera di Sungai Musi, Palembang. Dia juga memelopori penggunaan konstruksi beton pratekan saat membangun Jembatan Semanggi. Menteri PU dan Tenaga Listrik pada 1973-1978 ini lahir pada 1928 dan tutup usia pada 13 November 1980.
Ir Sutami, Menteri Pekerjaan Umum. Beliau tidak berasal dari partai, dan seorang insinyur, kemudian menjabat dalam bidang yang dikuasai. Dan terus menjabat sebagai menteri yang sama walau kabinetnya bernama Kabinet Dwikora I, II, Kabinet Ampera, atau Kabinet Pembangunan.
Atau bahkan ketika presidennya berbeda. Menteri yang mempimpin departemen dengan anggaran besar—atau sangat besar itu, dikenal sebagai menteri “termiskin di dunia”.
Konon, ia menderita penyakit yang bisa dikategorikan “kurang gizi.” Rumah kediamannya di Solo pernah hampir dicabut aliran listriknya karena tak bisa membayar.
Para wartawan di tahun ‘70-an memunyai keluhan panjang kalau mengikuti beliau meninjau daerah terpecil. Karena kalau perlu, berjalan kaki lebih dari enam jam! Tubuhnya yang kurus basah oleh keringat, senyumnya jarang terlihat.
Tapi tidak selalu tampak serius menakutkan atau angker. Bahkan ketika Proyek Listrik Tenaga Air di Maninjau, Sumatra Barat, yang diperkirakan tak akan bisa dibuat akhirnya berhasil, beliau menggendong pimpro.
Pak Menteri menggendong anak buahnya, sebagai penghargaan, sebagai kekaguman.
“Tukang insinyur” ini ikut pula membidani lahirnya Fakultas Teknik Universitas Indonesia, serta munculnya dan beroperasinya jalan tol yang sekarang dikenal sebagai tol Jagorawi. Kapasitas profesionalnya melampaui keberadaannya sebagai pejabat negara dan dinamika yang dilahirkan.
Seperti munculnya tenaga profesional, dan tetap begitu ketika menjadi badan usaha negara. Kualitas profesionalnya, kerendahan hati dari pribadi, kebersamaan dengan rakyat, seakan menjadikan “menteri ajaib”.
Lebih dari itu, pada masanya, tak ada soal aib, tak ada kasus korupsi yang disangkutkan dengan wewenangnya. Semua berjalan mulus, lurus, tulus.
Pak Tami, demikian sebutan hormatnya, meninggal dalam usia masih muda, 52 tahun, pada tanggal 13 November 1980. Jasa-jasanya, amal baik, menemukan tempatnya di hati rakyat secara luas.
Sedemikian bergemanya hingga bukan hanya bendungan besar yang memakai namanya, melainkan juga waduk-waduk biasa di sepanjang Sungai Brantas dan jalan-jalan yang bukan jalan utama memakai namanya.
Belum terhitung bangunan, atau tempat-tempat tertentu, yang memakai nama beliau secara spontan.
Nama tempat yang berkaitan langsung dengan kebutuhan rakyat seperti air, listrik, jalanan.
Tiba-tiba saya ingat saat seperti ini, dan menunduk hormat. Betapa hebat, tapi juga sebenarnya biasa yang dilakukan sesuai dengan tugasnya, namun melahirkan sesuatu yang luar biasa.
Betapa mencengangkan, tapi sekaligus begitu santun tanpa kata besar seperti mengabdi rakyat, menyejahterakan rakyat, atau menjalankan amanah. Betapa memesona keberadaan beliau sedemikian rupa sehingga rasa-rasanya menteri yang begini adalah makhluk langka.
Di tengah ingar-bingar para menteri, Pak Tami hadir sebagai sosok yang memberi inspirasi, yang mengabdi tanpa memihak kelompok atau komunitas tertentu. Bahkan ketika dipilih dan menjadi pembantu presiden pun, tidak memisahkan dirinya dengan rakyat.
Bahkan kemenangannya memihak rakyat adalah terjemahan langsung sebagai pejabat. Sebagai menteri. Menteri abadi di hati rakyat yang seharusnya bisa diteladani.
Sumber