Belum lama ini Jokowi selaku Presiden terpilih baru saja mengumumkan mengenai format kementrian yang akan membantunya melaksanakan tugas. Meski telah mengumumkan format kementrian, Jokowi masih menyisakan tugas besar berupa pemilihan orang-orang yang dianggap tepat menduduki jabatan tersebut. Pada jaman dahulu, Indonesia sempat memiliki beberapa menteri yang sangat inspiratif. Meski bisa memiliki berbagai fasilitas yang disediakan oleh pemerintah, mereka memilih untuk hidup dengan sederhana dan bekerja keras untuk mensejahterahkan rakyat. Berikut ini kisah mengharukan 4 menteri di Indonesia yang memilih hidup dalam kesederhanaan.
1. Hoegeng Iman Santosa
Hoegeng Iman Santosa adalah Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang juga sempat menjabat sebagai Menteri Iuran Negara (1965), dan menjadi Menteri Sekretaris Kabinet Inti (1966). Seperti yang tertulis dalam sebuah buku berjudul 'Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan', Hoegeng ternyata pernah menolak pemberian mobil dinas dari pemerintah saat masih menjabat sebagai Menteri Sekretaris Presidium Kabinet. Padahal kala itu Hoegeng mendapat dua mobil dinas untuk bekerja dan satu lagi untuk keluarganya.
Selain itu, Hoegeng rupanya juga ditawari mobil jenis Holden keluaran terbaru tahun 1965 untuk keluarganya. Namun apadaya dia tetap menolak pemberian itu dengan alasan sederhana. Hoegeng mengaku masih mempunyai mobil dinas Jeep Willis dari kepolisian. Namun seiring waktu berjalan, Hoegeng mau tak mau harus mengambil mobil dinas itu karena sudah menjadi peraturan negara. Dia pun menitipkan mobil itu kepada Soedharto Martopoespito, asisten/sekretaris kesayangannya,dengan alasan garasi rumahnya tak cukup, dan akan memakainya jika suatu ketika diperlukan.
2. Mohammad Natsir
Jika pejabat lain sibuk memperkaya diri, maka Mohammad Natsir adalah pengecualian. Natsir sederhana dan teguh. Sosoknya menjadi teladan sepanjang zaman. Natsir menjabat menteri penerangan tahun 1946 dan perdana menteri Indonesia tahun 1950-1951. Dengan dua jabatan mentereng itu, seharusnya Natsir bisa hidup mewah. Tapi hidupnya jauh dari kaya. Saat itu Natsir hanya memiliki sebuah mobil De Soto yang sudah tua. Mobil itu susah payah dibelinya dengan menabung bertahun-tahun.
Dalam 'Seri Buku Tempo, Natsir, politik santun di antara dua rezim' dikisahkan suatu hari ada seorang tamu yang datang ke rumah Natsir. Tamu itu berniat memberikan sebuah mobil Chevrolet Impala. Pada tahun 1956 mungkin Chevrolet Impala itu sekelas Toyota Royal Saloon yang biasa digunakan pejabat RI saat ini. Anak-anak Natsir yang menguping pembicaraan tamu dan ayah mereka, sangat gembira. Terbayang betapa nikmatnya mengendarai Chevrolet Impala yang besar dan mewah itu. Tapi harapan mereka buyar. Natsir dengan halus menolak pemberian itu. Lemaslah mereka. "Mobil itu bukan hak kita. Lagipula yang ada masih cukup," ujar Natsir menghibur anak-anaknya.
Bukan hanya mobil, keluarga Natsir pun kesulitan membeli rumah. Saat menjadi menteri bertahun-tahun mereka harus menumpang hidup di paviliun sahabat Natsir, Prawoto Mangkusaswito, di kampung Bali, Tanah Abang. Ketika pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, Nasir menumpang di paviliun milik keluarga Agus Salim. Baru tahun 1946 akhir, pemerintah kemudian memberikan rumah dinas untuk Natsir. Inilah untuk pertama kalinya keluarga Natsir tidak perlu menumpang lagi. Rumah itu berada di Jl Jawa, Jakarta Pusat.
Kesederhanaan Natsir tercermin dalam berbagai hal. Kemeja lusuhnya yang cuma dua helai, jasnya yang bertambal dan sikapnya yang santun. Para pegawai kementerian penerangan pernah urunan membelikan Natsir kemeja baru. Hal itu dilakukan agar Natsir tampak pantas sebagai menteri. Natsir memang teladan menteri yang langka.
3. Bung Hatta
Kisah tentang Bung Hatta dan mobil dinasnya ini diceritakan oleh pengusaha Hasjim Ning, yang juga merupakan keponakan Bung Hatta, dalam otobiografinya karangan AA Navis. Pada suatu hari, Bung Hatta yang pada saat itu menjabat sebagai perdana menteri kangen dengan ibundanya yang sudah lama tidak ditemui. Hasjim Ning diminta Bung Hatta untuk menjemput ibundanya, Ibu Saleha atau dipanggil Hasjim dengan sebutan Mak Tuo ke Sumedang, Jawa Barat.
Dalam pikiran Hasjim Ning, seharusnya Bung Hatta sebagai anak yang datang menjemput ibunya. Sebagai perdana menteri, hal itu akan baik bagi pamor Bung Hatta. Terutama apabila dalam kunjungan turut disertakan para wartawan. Dalam pikiran Hasjim Ning juga, Ibu Saleha akan sangat bahagia apabila mendapat kunjungan dari anaknya yang menjabat perdana menteri. Namun, Hasjim tidak bisa menyampaikan pikirannya itu kepada Bung Hatta. "Sebab aku maklum, apabila Bung Hatta telah berkata, kata-katanya itu sudah ia pikirkan dengan seksama. Maka ia tidak akan mengubahnya," demikian Hasjim Ning.
Sebagai gantinya Hasjim mengusulkan agar Mak Tuo dijemput dengan mobil Bung Hatta sendiri yaitu sebuah mobil dinas yang biasa digunakan oleh Bung Hatta. Maksud Hasjim, biar Mak Tuo senang dan bangga. Apa jawaban Bung Hatta? "Tidak bisa. Pakai saja mobil Hasjim," kata Bung Hatta. Menurut Hasjim, apa salahnya ibunda seorang perdana menteri naik mobil anak kandungnya? Siapa tidak akan setuju? Rakyat juga akan menerima dengan wajar karena menghormati pemimpinnya. Alasan Bung Hatta menunjukkan betapa bersih dan jujur jiwanya. "Mobil itu bukan kepunyaanku. Mobil itu milik negara," kata Bung Hatta.
4. H. Agus Salim
Beliau terlahir dengan nama Mashudul Haq yang artinya pembela kebenaran. Dalam pemerintahan RI, dia beberapa kali duduk dalam kabinet, sebagai menteri muda luar negeri Kabinet Sjahrir II (1946), dan kabinet Sjahrir III (1947), menteri luar negeri kabinet Amir (1947), menteri luar negeri kabinet Hatta (1948-1949). Menurut catatan harian Prof Schermerhorn, pemimpin delegasi Belanda dalam perundingan Linggajati, Agus Salim adalah orang yang sangat pandai. Beliau mampu bicara dan menulis dengan sempurna sedikitnya dalam sembilan bahasa. Hanya satu hal yang menjadi "kelemahan" dari Haji Agus Salim, yaitu beliau hidup melarat.
Menurut berbagai kisah, Haji Agus tidak hanya hidup dengan sederhana, bahkan mendekati miskin. Keluarga Haji Agus Salim pernah tinggal di Gang Lontar Satu di Jakarta. Kalau menuju ke Gang Lontar Satu, harus masuk dulu ke Gang Kernolong, kemudian masuk lagi ke gang kecil. Sungguh sesuatu yang sulit dibayangkan jika ada pejabat yang sudi tinggal di tempat yang terletak jauh didalam gang. Beliau tercatat tak pernah tertarik untuk berpindah ke rumah yang lebih mewah. Untuk mengurangi kejenuhan, setiap enam bulan sekali dia punya kebiasaan, mengubah letak meja kursi, lemari sampai tempat tidur. Kadang-kadang kamar makan ditukarnya dengan kamar tidur.