Mia melakukan tes itu pada 2009 silam, saat bayi kembarnya berusia 11 bulan. Berawal dari kecurigaan suami melihat ciri fisik bayinya yang sangat tak identik. Menyusul hasil tes itu, Mia akhirnya mengaku pernah berselingkuh dan berhubungan intim dengan pria lain sesaat sebelum hamil.
Jika Mia cukup beruntung karena akhirnya sang suami memaafkan perselingkuhannya dan bersedia menerima dua bayi kembarnya, tidak bagi dua wanita asal China dan Turki. Dua wanita yang mengalami kasus yang sama ini terpaksa menerima gugatan cerai suaminya setelah hasil DNA menyebut bayi kembar mereka memiliki ayah berbeda.
Dr Chris Dreiling dari Paediatric Association of Dallas, mengatakan, kasus semacam itu mungkin terjadi ketika wanita yang tengah berada pada masa ovulasi menghasilkan beberapa sel telur matang. Dalam rentang waktu yang hampir bersamaan, wanita itu kemudian berhubungan intim dengan sejumlah pria berbeda. Sebab, sel telur yang sudah matang bisa bertahan di saluran falopi selama 48 jam.
Dunia medis menyebut kasus semacam itu sebagai heteropaternal superfecundation. Meski mungkin terjadi, tapi sangat jarang. Kasus pertama mencuat pada 1810 lewat pemaparan seorang dokter asal Amerika Serikat, John Archer.
Dalam diskusi di Williams Obstetrics, Archer memaparkan kasus seorang wanita kulit putih yang melakukan hubungan intim dengan pria kulit putih dan kulit hitam dalam waktu hampir bersamaan. Hubungan ekstramarital itu menghasilkan bayi kembar yang tidak identik. Satu bayi berkulit putih, sementara kembarannya memiliki jenis kulit percampuran ras kulit putih dan hitam.
Sumber