Mumi Firaun |
Namun, sayang, Firaun Tutankhamen mati muda, dalam usia sekitar 19 tahun. Sejak makamnya ditemukan pada tahun 1922, misteri kematiannya yang terjadi 3.000 tahun lalu telah membuat bingung para ilmuwan selama beberapa dekade.
Ada banyak teori berseliweran, dari pembunuhan, gigitan ular berbisa, kusta, malaria, TBC, anemia sel sabit, juga dugaan Sang Firaun jatuh dari kereta kudanya.
Kini, sebuah teori baru muncul. Pencetusnya adalah seorang ahli bedah sekaligus peminat sejarah medis asal Imperial College London, Inggris, Hutan Ashrafian.
Ia menduga, Tutankhamen dan para pendahulunya yang juga mati muda menderita penyakit tak biasa. Salah satu petunjuknya ada pada ciri fisik mereka yang feminin, berdada besar, dan pinggul lebar.
Smenkhkare, yang diyakini sebagai paman atau kakak Tutankhamen, juga Akhenaten yang diperkirakan sebagai ayahnya, juga digambarkan dalam lukisan dan patung dengan dada besar.
Usia pendek para Firaun itu pun mengarah ke dugaan mereka menderita penyakit keturunan. Teori ini didukung fakta bahwa dua firaun sebelum Akhenaten - Amenhotep III dan Tuthmosis IV - juga terlihat memiliki penampilan fisik yang serupa.
"Ada banyak teori, tapi semua itu hanya berfokus pada masing-masing individu Firaun," kata dia kepada Washington Post. Tidak mempertimbangkan penyakit keturunan.
Epilepsi
Lalu apa kaitan dada besar dengan kematian para firaun?
Ashrafian menyebut sebuah kata kunci: epilepsi. Ia yakin, para para firaun menderita epilepsi lobus temporal. Yang ditandai kejang-kejang parah yang kadang disertai halusinasi berupa kilatan cahaya dan suara-suara misterius.
Lobus temporal, Ashrafian menambahkan, terhubung ke bagian otak yang terlibat dalam pelepasan hormonterkait perkembangan seksual. Itu yang menjelaskan mengapa payudara para firaun yang menderita penyakit itu berkembang besar.
Eilepsi juga yang diduga melatarbelakangi "visi relijius" yang dialami Akhenaten, yang berhasil menaikkan dewa minor tak dianggap, Aten, menjadi dewa besar. Yang mengubah kepercayaan Mesir Kuno yang sebelumnya mempercayai banyak dewa menjadi monoteis, menyembah satu dewa.
Tuthmosis IV juga dilaporkan mendapat visi relijius di siang bolong yang panas, yang dicatat dalam Dream Stele, prasasti yang ditemukan di dekat Sphinx. "Orang-orang dengan epilepsi lobus temporal, saat terkena sinar matahari akan mendapatkan rangsangan halusinasi."
Sementara terkait retakan pada tulang kaki di mumi Tutankhamen, Ashrafian berpendapat, itu bisa jadi akibat benturan atau jatuh saat ia mengalami kejang-kejang serangan epilepsi.
Namun, meski meyakinkan, pendapat itu tak disepakati Howard Markel, sejarawan medis dari University of Michigan. Ia mengatakan teori itu tak mudah dibuktikan, sebab tak ada tes genetik yang definitif untuk epilepsi.
"Ini hipotesis yang sangat menarik, itu saja, tak ada bukti definitifnya." (ren)
Sumber
Ashrafian menyebut sebuah kata kunci: epilepsi. Ia yakin, para para firaun menderita epilepsi lobus temporal. Yang ditandai kejang-kejang parah yang kadang disertai halusinasi berupa kilatan cahaya dan suara-suara misterius.
Lobus temporal, Ashrafian menambahkan, terhubung ke bagian otak yang terlibat dalam pelepasan hormonterkait perkembangan seksual. Itu yang menjelaskan mengapa payudara para firaun yang menderita penyakit itu berkembang besar.
Eilepsi juga yang diduga melatarbelakangi "visi relijius" yang dialami Akhenaten, yang berhasil menaikkan dewa minor tak dianggap, Aten, menjadi dewa besar. Yang mengubah kepercayaan Mesir Kuno yang sebelumnya mempercayai banyak dewa menjadi monoteis, menyembah satu dewa.
Tuthmosis IV juga dilaporkan mendapat visi relijius di siang bolong yang panas, yang dicatat dalam Dream Stele, prasasti yang ditemukan di dekat Sphinx. "Orang-orang dengan epilepsi lobus temporal, saat terkena sinar matahari akan mendapatkan rangsangan halusinasi."
Sementara terkait retakan pada tulang kaki di mumi Tutankhamen, Ashrafian berpendapat, itu bisa jadi akibat benturan atau jatuh saat ia mengalami kejang-kejang serangan epilepsi.
Namun, meski meyakinkan, pendapat itu tak disepakati Howard Markel, sejarawan medis dari University of Michigan. Ia mengatakan teori itu tak mudah dibuktikan, sebab tak ada tes genetik yang definitif untuk epilepsi.
"Ini hipotesis yang sangat menarik, itu saja, tak ada bukti definitifnya." (ren)
Sumber