Bukan temuan kuburan
massal terlupakan di halaman belakang sebuah rumah sakit tua yang
membuat para arkeolog tercengang, namun kerangka dalam liang kubur yang
tak wajar. Punya empat kaki dan tiga lengan, diamputasi, diautopsi,
tulang yang diikat.
Pada tahun 2006 lalu, arkeolog dari Museum of London Archaeology menguak sejarah kelam di Royal London Hospital dan rumah sakit lainnya di Inggris. Setelah menggali 260 belulang jasad manusia dari tahun 1825 dan 1841.
Dari situ terungkap bahwa para ahli bedah di awal abad ke-19 menghadapi pilihan dilematis: mengasah kemampuan mereka menggunakan jasad curian atau pada manusia hidup.
Operasi di awal tahun 1800-an adalah bisnis brutal. Bayangkan, standar perawatan patah tulang adalah amputasi, tanpa anastesi juga antiseptik. Pasien menghadapi risiko kematian akibat kehilangan banyak darah dan infeksi, bahkan jika operasi berjalan sukses.
Prosedur semacam itu membutuhkan kecepatan dan presisi, yang tentu saja menuntut praktek sering. Kala itu, satu-satunya sumber legal jasad untuk praktek berasal dari kriminal yang dieksekusi, diangkut langsung dari tiang gantungan.
Padahal tahun 1820 London punya empat rumah sakit utama yang juga menjadi lembaga pendidikan bedah, juga 17 sekolah anatomi swasta. Mendapatkan jasad yang memadai untuk praktek bedah adalah masalah.
Solusinya justru disediakan geng perampok makam. Komplotan yang menggali mayat dan menawarkan jasadnya demi segepok uang. Beberapa orang bahkan jadi korban pembunuhan akibat dari praktek ilegal itu.
Aktivitas para penjarah kuburan menebar teror dan kebencian. Si miskin adalah yang paling rentan. Stigma mengerikan pun beredar soal praktek bedah medis, berkaitan dengan arwah gentayangan para penjahat yang dijadikan alat praktek. Juga ada kepercayaan bahwa keselamatan di hari kiamat, hanya bisa didapat jika tubuh dalam kondisi lengkap -- sehingga orang menolak bedah.
Tema-tema mengerikan itu saat ini diekplorasi secara detail di pameran terbaru yang digelar di Museum of London. Bertajuk, "Doctors, Dissection and Resurrection Men".
Kebenaran yang pahit
Kurator museum, Jelena Bekvalac mengatakan, temuan dihasilkan tahun 2006 silam punya arti sangat penting. Digabungkan dengan hasil riset tentang perdagangan mayat curian di awal abad ke-19, terungkap sebuah periode menarik dan kritis dalam sejarah London.
"Untuk kali pertamanya kami memamerkan sisa-sisa jasad manusia yang diekskavasi sekaligus menguak kisah mereka -- yang lama terlupakan namun sedemikian penting. Menjadi pengingat akan sebuah kebenaran pahit, bahwa kemajuan medis kadangkala menuntut korban manusia."
Selain tengkorak para "tumbal" kemajuan dunia kedokteran, juga dipamerkan peralatan operasi kala itu. Di antaranya, gergaji tengkorak dan set alat amputasi. Juga model anatomi dari lilin karya Joseph Towne yang bekerja di Guy's Hospital lebih dari 50 tahun.
Jijik dengan pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Burke dan Hare (William Burke dan William Hare), yang menghabisi 17 nyawa dan menjual mayatnya sebagai kadaver anatomi, adalah alasan dikeluarkannya UU Anatomi tahun 1832. Aturan baru itu membolehkan jasad apapun yang tidak diklaim oleh keluarganya digunakan untuk praktek pembedahan. Tak harus dari kriminal yang digantung. Dalam 100 tahun setelah UU itu disahkan, 57.000 jasad tersedia untuk mengasah ketrampilan para ahli bedah. Kebanyakan adalah tunawisma, pasien rumah sakit jiwa, dan pasien rumah sakit yang meninggal.
Dalam pameran itu juga diungkap "warisan ketakutan" yang dipicu UU Anatomi. Bahwa menjadi orang miskin berarti negara bisa mengklaim tubuh Anda setelah mati.
Namun, Professor Vishy Mahadevan dari Royal College of Surgeons mengatakan, "mayat yang dibangkitkan" tak sepenuhnya berdampak negatif.
"Memang para penjahat melakukannya demi uang. Makin segar jasad, makin banyak duit yang didapat. Namun akibat tak langsungnya sangat bermanfaat, dalam arti deskripsi anatomi luar biasa yang dihasilkan para ahli bedah hebat dan rajin pada masa itu seperti Sir Astley Cooper." Yang akhirnya bermanfaat untuk mengobati manusia.
Pada tahun 2006 lalu, arkeolog dari Museum of London Archaeology menguak sejarah kelam di Royal London Hospital dan rumah sakit lainnya di Inggris. Setelah menggali 260 belulang jasad manusia dari tahun 1825 dan 1841.
Dari situ terungkap bahwa para ahli bedah di awal abad ke-19 menghadapi pilihan dilematis: mengasah kemampuan mereka menggunakan jasad curian atau pada manusia hidup.
Operasi di awal tahun 1800-an adalah bisnis brutal. Bayangkan, standar perawatan patah tulang adalah amputasi, tanpa anastesi juga antiseptik. Pasien menghadapi risiko kematian akibat kehilangan banyak darah dan infeksi, bahkan jika operasi berjalan sukses.
Prosedur semacam itu membutuhkan kecepatan dan presisi, yang tentu saja menuntut praktek sering. Kala itu, satu-satunya sumber legal jasad untuk praktek berasal dari kriminal yang dieksekusi, diangkut langsung dari tiang gantungan.
Padahal tahun 1820 London punya empat rumah sakit utama yang juga menjadi lembaga pendidikan bedah, juga 17 sekolah anatomi swasta. Mendapatkan jasad yang memadai untuk praktek bedah adalah masalah.
Solusinya justru disediakan geng perampok makam. Komplotan yang menggali mayat dan menawarkan jasadnya demi segepok uang. Beberapa orang bahkan jadi korban pembunuhan akibat dari praktek ilegal itu.
Aktivitas para penjarah kuburan menebar teror dan kebencian. Si miskin adalah yang paling rentan. Stigma mengerikan pun beredar soal praktek bedah medis, berkaitan dengan arwah gentayangan para penjahat yang dijadikan alat praktek. Juga ada kepercayaan bahwa keselamatan di hari kiamat, hanya bisa didapat jika tubuh dalam kondisi lengkap -- sehingga orang menolak bedah.
Tema-tema mengerikan itu saat ini diekplorasi secara detail di pameran terbaru yang digelar di Museum of London. Bertajuk, "Doctors, Dissection and Resurrection Men".
Kebenaran yang pahit
Kurator museum, Jelena Bekvalac mengatakan, temuan dihasilkan tahun 2006 silam punya arti sangat penting. Digabungkan dengan hasil riset tentang perdagangan mayat curian di awal abad ke-19, terungkap sebuah periode menarik dan kritis dalam sejarah London.
"Untuk kali pertamanya kami memamerkan sisa-sisa jasad manusia yang diekskavasi sekaligus menguak kisah mereka -- yang lama terlupakan namun sedemikian penting. Menjadi pengingat akan sebuah kebenaran pahit, bahwa kemajuan medis kadangkala menuntut korban manusia."
Selain tengkorak para "tumbal" kemajuan dunia kedokteran, juga dipamerkan peralatan operasi kala itu. Di antaranya, gergaji tengkorak dan set alat amputasi. Juga model anatomi dari lilin karya Joseph Towne yang bekerja di Guy's Hospital lebih dari 50 tahun.
Jijik dengan pembunuhan berantai yang dilakukan oleh Burke dan Hare (William Burke dan William Hare), yang menghabisi 17 nyawa dan menjual mayatnya sebagai kadaver anatomi, adalah alasan dikeluarkannya UU Anatomi tahun 1832. Aturan baru itu membolehkan jasad apapun yang tidak diklaim oleh keluarganya digunakan untuk praktek pembedahan. Tak harus dari kriminal yang digantung. Dalam 100 tahun setelah UU itu disahkan, 57.000 jasad tersedia untuk mengasah ketrampilan para ahli bedah. Kebanyakan adalah tunawisma, pasien rumah sakit jiwa, dan pasien rumah sakit yang meninggal.
Dalam pameran itu juga diungkap "warisan ketakutan" yang dipicu UU Anatomi. Bahwa menjadi orang miskin berarti negara bisa mengklaim tubuh Anda setelah mati.
Namun, Professor Vishy Mahadevan dari Royal College of Surgeons mengatakan, "mayat yang dibangkitkan" tak sepenuhnya berdampak negatif.
"Memang para penjahat melakukannya demi uang. Makin segar jasad, makin banyak duit yang didapat. Namun akibat tak langsungnya sangat bermanfaat, dalam arti deskripsi anatomi luar biasa yang dihasilkan para ahli bedah hebat dan rajin pada masa itu seperti Sir Astley Cooper." Yang akhirnya bermanfaat untuk mengobati manusia.